KTR Indonesia

Singkat, Tepat, Jelas

Keluarga Ahli Waris Merasa Dirugikan Secara Material Mendagri 3 Tahun Tidak Membela Rakyat Kecil Yang Dirampas Haknya Oleh Mantan Walikota dan Walikota Tangsel, Keluarga Meminta Perlindungan Hukum Kepada Kapolri

TANGERANG SELATAN, KTRINDONESIA.COM – Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dianggap tak sanggup menangani permasalahan mafia tanah yang melibatkan kepala daerah Kota Tangerang Selatan.

Pada Minggu kemarin, Ahli waris alm Alin bin Embing pemilik tanah Letter C 428 seluas 11.320m2 mengantarkan surat meminta perlindungan hukum kepada Lembaga Kepolisian yakni, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Divisi Propam Mabes Polri, Inspektorat Pengawasan Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia (Itwasum Polri), Kapolda Metro Jaya dan juga mengantarkan kepada Komisi III DPR RI.

“Kami antar surat perlindungan hukum kepada beberapa instansi karena penanganan pengaduan masyarakat di Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Menteri Tito Karnavian yang diwakili Inspektur Jenderal Itjen Kemendagri Tumpak Haposan Simanjuntak yang tidak serius menangani aduan masyarakat Kota Tangsel terkait kejahatan perizinan pembangunan Bintaro Xchange diatas tanah masyarakat yng diizinkan oleh mafia tanah Airin mantan Wali Kota Tangsel dan Benyamin Wali Kota saat ini,” kata kuasa hukum ahli waris, Poly Betaubun, Senin (25/10).

Kemendagri, dianggap masyarakat Tangsel sangat acuh terhadap mafia tanah yang melibatkan kepala daerah, dan mengorbankan rakyat kecil pedagang cilok seperti Yatmi ahli waris alm Alin bin Embing, Inspektorat Khusus Kemendagri pernah membuat berita acara kesepakatan pada tangga 5 Juli 2021 yang menjelaskan pada poin ke dua, Yakni Inspektorat Jenderal Kemendagri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan Mall Bintaro Jaya Xchange milik PT JRP, dimana penyegelan tersebut dapat dilakukan oleh Walikota Tangsel sesuai rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian setelah dilakukannya investigasi dan diperolehnya bukti cukup atas adanya pelanggaran pendirian Mall Bintaro Jaya Xchange.

“Sedangkan bukti yang cukup sebelumnya sudah diberikan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Tangsel kepada Inspektur Jenderal Itjen Kemendagri Tumpak Haposan Simanjuntak, bahwa PT JRP melakukan pendaftaran izin membangun pada 2017, izin prinsip 2018, kemudain mendapatkan izin membangun/ IMB pada 2019, padahal mal Bintaro Jaya Xchange sudah dibangun sejak 2012 dan resmi beroperasi pada 2013, artinya selama kurang lebih delapan tahun tidak memiliki izin membangun tetapi bisa dapat beroperasi, itulah bukti yang otentik dari keterangan Dinas yang terkait bahwasanya mal Bintaro Jaya Xchange Wajib disegel karna bukan hanya merampas hak masyarakat tetapi juga melanggar undang-undang perizinan pembangunan dan merugikan negara dari segi pajak,” ungkap Poly.

“Kami sebagai masyarakat Tangsel sangat kecewa dengan pelayanan Kemendagri kepada apa yang diadukan masyarakat, sudah membuat komitmen tetapi tidak bisa menjalankan, tidak serius menangani kasus mafia tanah yang melibatkan kepala daerah yang memang tanggung jawab dari Kemendagri dalam membina kepala daerah agar menjalankan sistem birokrasi tyang baik untuk masyarakat,” tambahnya.

Selanjutnya, setelah mengantarkan surat meminta perlindungan hukum, kuasa hukum, keluarga besar ahli waris alm Alin bin Embing  dan masyarakat Tangsel mempercayai akan program pemberantasan mafia tanah saat ini akan memberikan efek yang sangat luar biasa kepada pelaku mafia tanah, dan akan terus mendukung pemerintah dalam memberantas pelaku mafia tanah.

“Kami juga memohon kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo beserta jajarannya untuk bisa melindungi hak dari masyarakat kecil yang menjadi korban keserakahan para oknum mafia tanah yang menggunakan jabatan kepala daerah untuk melancarkan aksinya, seperti Airin Rachmi Diany mantan Wali Kota dua periode dan Benyamin Wali Kota sekarang. Jangan biarkan mafia tanah terus bersenang-senang diatas penderitaan rakyat kecil. Negara tidak boleh kalah dengan mafia tanah dan pengembang yang secara sadar mencari keuntungan dalam bisnis dengan cara merampas dari hak-hak warga sekitar yang masuk dalam territorial bisnisnya,” jelas Poly Betaubun.

 

(irl)