KTR Indonesia

Singkat, Tepat, Jelas

PSHK Soroti Tafsir Hukum Aparat dan Kesusilaan di Kasus Dinar

KTR INDONESIA – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkritik kepolisian yang memproses hukum  artis Dinar Candy karena memprotes perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan menggunakan bikini. PSHK mempersoalkan tafsir hukum aparat terkait rencana pengenaan pasal UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Peneliti PSHK Auditya Saputra mengatakan, secara umum seseorang tidak bisa dipidana karena menyampaikan pendapat.

“Terlepas dari cara orang menyampaikan ekspresinya, seseorang enggak bisa dipidana karena menyatakan pendapatnya,” kata Auditya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (5/8).

Dia mengatakan dalam Prinsip Siracusa atau Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan HAM dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, memang diatur ukuran pembatasan kebebasan berpendapat. Salah satunya moralitas publik.

Namun moralitas publik itu menurut Auditya tidak bisa serta merta diterapkan dalam kasus Dinar Candy ini.

“Tapi itu enggak bisa serta merta diaplikasikan ke kasus [Dinar Candy] ini untuk menyebut itu melanggar kesusilaan,” ujarnya.

Dalam hal ini, ia menaruh perhatian terhadap UU ITE. Kasus Dinar Candy, menurut dia, menunjukkan undang-undang tersebut masih tetap ditafsirkan subjektif sesuai kebutuhan kepolisian.

Ia menduga, jika Dinar Candy melakukan aksi protesnya di Bali, besar kemungkinan tidak akan diproses hukum karena apa yang dilakukan Dinar lumrah di sana.

“Katakanlah, kalau DC melakukannya di Bali, tentu isu kesusilaannya enggak akan dibawa-bawa karena ekspresi demikian lumrah di sana. Nah, sebenarnya kalau di Bali bisa diterima,” katanya.

Berbeda dengan di Jakarta saat apa yang dilakukan Dinar tak bisa ditoleransi.

“Letak masalahnya ada di struktur penegak hukum yang tidak mampu menafsirkan hukum pada tataran filosofinya,” kata Auditya.

Dia menilai polisi sangat berlebihan dan tidak elok menggunakan pasal menyangkut kesusilaan di UU ITE. Menurutnya, masalah ini seharusnya berada dalam ranah sanksi sosial saja.

Ia menambahkan, seharusnya aksi protes Dinar Candy yang notabene merupakan bentuk penyampaian pendapat harus disikapi secara proporsional, bukan melalui jalur pemidanaan.

“Ukuran kesusilaan itu semakin pudar dari hari ke hari. Apa yang susila menurut orang konservatif berbeda dengan apa yang susila menurut orang liberal. Jadi, karena subjektivitas itu, harusnya bukan jalur pemidanaan yang dipakai. Restorative justice yang disebut-sebut itu mesti diterapkan,” imbuhnya.

Dalam kasus ini, polisi menangkap Dinar Candy di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan pada Rabu (4/8) sekitar pukul 21.30 WIB. Saat ini, Dinar masih menjalani pemeriksaan di Polres Metro Jakarta Selatan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan penyidik mendalami unsur pelanggaran UU Pornografi dan UU ITE terhadap aksi protes yang dilakukan oleh Dinar Candy. (Editor: glh)