KTR Indonesia

Singkat, Tepat, Jelas

Nurul Akmal: Dari Angkut Padi Jadi Atlet Elite Angkat Besi

KTR INDONESIA – Nama Nurul Akmal menjadi perbincangan hangat usai tampil Olimpiade Tokyo 2020 lalu. Buat Amel, sapaan akrabnya, bisa tampil di Olimpiade bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.

Nurul Akmal berhasil mencetak sejarah sebagai atlet asal Aceh pertama yang berlaga di Olimpiade setelah 30 tahun silam. Ia pun sukses menempati peringkat kelima di kelas +87 kg, kelas yang untuk pertama kalinya diikuti lifter Indonesia di cabang olahraga angkat besi, dengan total angkatan 256 kg.

Berasal dari Desa Serba Jaman Tunong, Tanah Luas, Aceh Utara, Nurul Akmal mengaku tak hanya mendapatkan banyak pujian atas torehan prestasi yang dibuatnya. Ia juga kerap mendapatkan hujatan dari netizen soal keputusannya melepas hijab saat bertanding.

Tak hanya itu, lifter kelahiran 12 Februari 1993 itu juga tak jarang dibully soal bentuk badannya yang gempal. Hal itu membuatnya sering merasa sedih dan kesal.

Bagaimana Nurul Akmal menjawab hujatan netizen soal lepas hijab saat bertanding? Bagaimana juga ia menjawab cibiran orang soal body shaming yang dialamatkan kepadanya?

Bagaimana kehidupan anda sebelum mengenal angkat besi?

Sampai sekarang, saya tidak pernah terpikir bisa sampai di titik ini. Saya berasal dari kampung, pedalaman di Serba Jaman Tunong, Tanah Luat, Aceh Utara. Keseharian saya biasa saja seperti anak-anak kampung pada umumnya, semua bisa dikerjakan walaupun saya perempuan.

Waktu SMP, saya suka bantu orang tua. Mulai dari gembala sapi sampai angkut padi dari ladang dibawa ke rumah, untuk membantu orang tua.

Saya sempat disebut Tyson sama orang kampung dulu karena rambut saya pendek dan sering bermain sama anak laki-laki karena saya tomboy. Saya iya-iya saja, karena saya tidak tahu Tyson itu siapa. Sekarang saya sudah tahu Tyson itu petinju dunia Hahaha..

Bagaimana awal mula Anda mengenal angkat besi?

Ceritanya, ada orang baik hati minta saya ikut belajar angkat besi ke kota. Dia itu [Pak Efendi] teman dari teman ayah. Tapi ayah saya juga tidak kenal. Orang tua sempat ketakutan saya mau diapakan di kota. Namanya orang tua pasti khawatir.

Dulu saya itu tidak terlalu gemuk, berat badan saya 60-70kg. Mungkin badan saya dilihat punya potensi untuk di angkat besi. Karena diiming-imingi sekolah gratis, dikasih uang saku, makan gratis, buat saya tertarik dan mau untuk ikut ke kota. Pikiran saya waktu itu bisa mengurangi beban orang tua di kampung.

Lalu saya termotivasi mau cari pengalaman, kali saja rezeki saya di sini. Jadi saya ke Banda Aceh dari kampung naik bus yang jaraknya enam jam. Kedua orang tua saya ikut karena takut. Saya masih ingat waktu itu akhir November 2009 setelah saya lulus SMP, jadi saya melanjutkan SMA di Banda Aceh.

Di Banda Aceh saya di bawa ke Dispora sama Pak Efendi. Pelatih pertama saya namanya Tarsoyadi. Sejak itu saya mulai dikenalkan angkat besi, dilatih, teknik dasarnya bagaimana.

Perjuangan berat seperti apa yang Anda lalui kala itu?

Saya ini kan beda dengan Rahmat Erwin atau Windy Cantika yang memang ada turunan orang tuanya atlet angkat besi. Saya ini dari nol, tidak ada turunan, tidak tahu apa-apa soal angkat besi.

Awalnya takut, nangis karena ternyata latihannya berat. Setiap hari saya telepon ke orang tua, cerita latihannya bagaimana. Saya juga sempat berpikir setelah lulus SMA mau pulang lagi ke kampung, mau sudah saja latihan angkat besinya.

Tapi ternyata lama-lama saya nyaman, saya suka dan senang latihan angkat besi. Apalagi saat itu tahun 2010 saya pertama kali naik pesawat ke Yogyakarta ikut Kejuaraan Nasional lalu dapat medali perunggu di kelas +75kg.

Setelah itu beberapa prestasi lain saya peroleh. Kemudian saya berpikir lagi, mungkin rezeki saya di sini. Jadi pelan-pelan saya jalani dengan ikhlas sampai saya kuliah. Kebetulan saya diterima di Universitas Abulyatama Aceh. Saya di Fakultas Pendidikan Olahraga, jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi.

Kemudian, seperti apa perjalanan masuk pelatnas di Jakarta sampai lolos ke Olimpiade Tokyo 2020?

Waktu 2015, saya masuk seleksi Pra PON untuk Aceh lalu tampil di PON 2016 Jawa Barat. Alhamdulillah saya dapat medali emas. Di 2017, saya ikut di Islamic Solidarity Games dapat medali perak.

Pada 2018, saya dipanggil ke pelatnas pertama kali untuk ikut Asian Games. Tapi waktu itu saya tidak dapat medali, ada di peringkat enam. Waktu itu Pak Dirja [Dirja Wiharja, Pelatih Angkat Besi nasional] bilang,’Saya mau buat sejarah Indonesia punya atlet dan prestasi angkat besi di kelas berat’. Karena selama ini kan cuma ada di kelas ringan dan sedang saja.

Nah, waktu itu saya diproyeksikan untuk ke Olimpiade. Lalu ikut Kejuaraan Dunia di Ashgabat 2018 yang hasilnya poin ke Olimpiade. Di situ saya dapat peringkat ke-13.

Prestasi saya Alhamdulillah terus membaik. Di 2019, saya ikut kejuaraan di Thailand dapat perunggu di clean and jerk. Lalu saya dibawa lagi ikut ke Kejuaraan di China, Kejuaraan Asia ke World Cup, lalu Kejuaraan Dunia 2019 mungkin dari situ poin saya bertambah terus. Plus dua perunggu di Qatar Cup 2019. Waktu di 2020 saya sudah tidak ikut kejuaraan lagi karena kan sudah pandemi tidak bisa kemana-mana.

Peringkat 5 dunia kelas 87 kg di Olimpiade Tokyo 2020, bagaimana rasanya?

Saya tidak menyangka sambutannya luar biasa sekali yang saya dapat. Saya minta maaf karena belum bisa kasih medali, tapi saya coba kasih yang terbaik buat Indonesia. Buat saya sudah seperti mimpi rasanya, karena semua atlet pasti sangat ingin tampil di Olimpiade.

Mungkin waktunya belum pas sekarang, padahal kalau dari persiapan saya merasa sudah cukup. Tapi ini juga sejarah, karena Indonesia baru kali ini meloloskan atlet angkat besi di kelas berat. Untuk dapat tiket saja perjuangannya luar biasa.

Kalau dari segi mental saya sebenarnya sudah biasa saja, karena juga sudah beberapa kali ikut di kejuaraan internasional. Nervous itu biasa karena ini Olimpiade yang dinanti-nanti. Sampai sekarang masih berasa mimpi, kemarin masih di Jepang, sekarang sudah di Indonesia lagi.

Bagaimana tanggapan anda yang dihujat netizen gara-gara lepas hijab saat bertanding?

Pertama, ini pribadi saya pakai hijab. Di Islam, khususnya di Aceh, wanita muslim itu wajib berjilbab. Tapi kalau pas main, saya lebih berpikir kembali ke masing-masing orangnya saja.

Saya memutuskan untuk melepas jilbab saat bertanding dan latihan. Saya tahu itu ada yang komentar negatif tapi ada juga yang positif. Dan saya sudah bilang dan izin ke kedua orang tua soal keputusan saya ini. Kata Mama saya, mungkin jalannya begitu. Orang tua saya sudah mengerti.

Sebenarnya saya bisa saja bertanding tetap pakai hijab, tapi saya kan badannya gendut memang jadi engap, takut kena besi bajunya ketarik. Sekarang memang sudah ada baju dan jilbab untuk olahraga, nanti Insya Allah mungkin ke depannya saya bisa pakai jilbab saat bertanding.

Di angkat besi, yang saya tahu tidak ada larangan untuk pakai jilbab. Atlet-atlet Iran, mereka tetap pakai jilbab. Tapi saya, belum bisa. Mungkin karena saya belum terlalu nyaman.

Bagaimana reaksi Anda terhadap orang yang body shaming [menjelek-jelekan bentuk tubuh] terhadap anda?

Saya kalau diomongin karena tidak pakai jilbab saya tidak apa-apa. Tapi asal jangan pernah body shaming terhadap saya, jangan pernah orang tua saya disenggol, saya benci itu.

Saya juga sudah dengar video yang bilang ‘si kurus lewat’. Itu bercanda. Saya tidak apa-apa. Saya juga tahu siapa yang ngomong itu kok.

Kalau ada yang seperti itu saya jawab saja “iya benar memang, kalau di luar negeri saya paling kecil di banding lawan-lawan” karena kan memang benar begitu.

Saya sedih dan kesal kalau dibilang ‘sudah gendut, banyak makan, jelek kaya kerbau’ mereka tidak tahu untuk bisa ada di sini perjuangannya seperti apa.

Tapi orang tua saya bilang, biarkan saja. Tidak apa-apa, saya dengan jalan saya sendiri, tidak ganggu orang lain. Saya tetap dengan tujuan saya, terserah orang mau bilang apa.

Harapan anda ke depan soal karier di angkat besi?

Harapannya semoga bisa lolos ke Olimpiade Paris 2024 dan mendapatkan hasil yang lebih baik dari Olimpiade Tokyo 2020. Semoga saya bisa memberikan yang terbaik dan lebih baik lagi ke depannya.

Apalagi saya menjadi lifter pertama dari Aceh dan atlet pertama dari Aceh yang tampil di Olimpiade setelah Alkindi, atlet anggar di Olimpiade Seoul 1988. Sudah 33 tahun lalu, bahkan ketika saya belum lahir.

Rasanya tidak bisa diungkapkan, terharu seperti mimpi. Saya akan tetap bermimpi bisa ke Olimpiade lagi, saya tidak pulang ke Aceh setelah ini. Saya langsung latihan lagi, saya mau kasih yang lebih baik lagi. (Editor: glh)