KTR Indonesia

Singkat, Tepat, Jelas

MAKI Gugat UU KPK ke Mahkamah Konstitusi

KTR INDONESIA – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menggugat UU KPK  ke Mahkamah Konstitusi (MK). MAKI meminta MK membatalkan alih fungsi pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang diatur dalam UU KPK.

“Dalam provisi. Memerintahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan proses alih fungsi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas perkara a quo,” demikian permohonan MAKI yang dilansir website MK, Jumat (4/6/2021).

MAKI beralasan peningkatan sinergi antarinstitusi penegak hukum tidak dapat diselesaikan semata-mata dengan pengangkatan pegawai menjadi ASN. Apalagi sejak awal disadari bahwa KPK dinyatakan telah melakukan pelanggaran kode etik.

“Padahal kode etik pegawai KPK justru lebih rigid dibanding kode etik di ASN di penegak hukum lain,” tuturnya.

Bahkan, dalam beberapa kasus, Majelis Kehormatan KPK menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik kepada pegawai KPK yang berasal dari institusi lain, justru setelah dikembalikan ke instansi asalnya, yang bersangkutan diputus bebas dan pada akhirnya mengalami kenaikan pangkat dan jabatan strategis.

“Hal ini bisa dilihat dalam kasus perusakan barang bukti yang dikenal dengan kasus Buku Merah,” ujar MAKI.

MAKI juga menyitir putusan MK yang menyatakan alih fungsi pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawai KPK. Pertimbangan MK perkara nomor 70/PUUXVII/2019 itu berbunyi:

Adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK. Oleh karenanya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan.

“Dengan demikian, terdapat pemaknaan yang berbeda antara maksud putusan MK dan pimpinan KPK dalam memahami ketentuan yang diatur dalam Pasal 68 B ayat (1) dan Pasal 69 C Undang-Undang nomor 19 Tahun 2019,” beber MAKI.

Di mana MK menitik beratkan pada efektivitas koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menekankan pada integritas seluruh komponen dalam tubuh KPK tanpa menghilangkan hak pegawai dengan alasan apa pun. Sementara itu, pimpinan KPK menjadikan UU tersebut untuk menyisir siapa yang berhak untuk diangkat menjadi ASN.

“Terdapat kepastian hukum pada formula kalimat yang digunakan pada Pasal 68 B ayat (1) dan Pasal 69 C UU Nomor 19 Tahun 2019, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia, karena kerja-kerja KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi terganggu dengan berkurangnya pegawai yang merupakan penyelidik atau penyidik senior di KPK,” kata KPK menjelaskan.

Ketidakpastian hukum terjadi sebagai akibat digunakannya kata ‘dapat diangkat’, yang dimaknai sebagai subyektifitas dan kewenangan mutlak pimpinan KPK, baik sendiri maupun melibatkan institusi lain. Tanpa melihat bahwa ada hak pegawai KPK untuk diangkat sebagaimana pertimbangan MK.

“Penggunaan kata ‘dapat’ untuk mengawali kata ‘diangkat’ secara nyata telah menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu terjadi dalam tubuh KPK. Hal mana merugikan Para Pemohon yang aktif dalam membantu penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi, baik yang ditangani oleh KPK maupun institusi penegak hukum lain,” tutur MAKI.

Berikut 2 permintaanya:

1.Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2.Menyatakan frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai “Peralihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara tidak boleh merugikan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun termasuk tidak dapat diberhentikan kecuali melanggar hukum berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan atau melanggar etika berat berdasarkan putusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Majelis Kehormatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”.

Sebelumnya, delapan pegawai KPK juga mengajukan judicial review serupa ke MK. Kedelapan orang itu adalah Hotman Tambunan, Harun Al Rasyid, Rasamala Aritonang, Novariza, Andre Dedy Nainggolan, Lakso Anindito, Faisal, dan Benydictus Siumlala. Mereka termasuk dalam 75 orang yang dinyatakan tidak lulus TWK.

Mereka meminta Pasal 69B ayat 1 dan Pasal 69C UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK ditafsirkan secara konstitusional bersyarat.

“Menyatakan frasa ‘dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara’ sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara’ sepanjang memenuhi ketentuan 1. Bersedia menjadi pegawai aparatur sipil negara, 2. Belum memasuki batas usia pensiun sesuai ketentuan perundang-undangan, 3. Tidak melakukan pelanggaran kode etik berat, 4. Tidak dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,” pinta Hotman Tambunan dkk dalam petitumnya. (mul)