KTR INDONESIA – Korban pinjaman online (pinjol) bertambah lagi. Seorang wanita yang bekerja sebagai guru honorer di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah menjadi korban pinjol dengan utang yang membengkak menjadi Rp206,3 juta.
Guru honorer bernama Afifah Muflihati (27) mengatakan dia diijanjikan pinjaman Rp5 juta tenor 91 hari bunga 0,4%, tetapi dia mendapat pinjaman awal hanya sebesar Rp 3,7 juta hingga akhirnya membengkak menjadi Rp206,3 juta.
Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum maksimal dan terkesan hanya mengatasi pinjol legal. Sementara perkembangan pinjol ilegal cukup banyak memakan korban.
“Menurut saya peran OJK sangat tidak maksimal karena terkesan hanya mau mengurusi fintech pinjol legal atau berizin, 147 fintech berizin dan terdaftar di OJK. Harusnya OJK punya tanggung jawab kepada seluruh jasa keuangan ilegal maupun legal,” ujarnya, Jumat (4/6/2021).
“Sementara perkembangan fintech ilegal yang cukup banyak memakan korban itu seperti sindikat yang tiap hari meneror masyarakat, jumlahnya 10 kali lipat lebih dibandingkan fintech yang legal,” lanjutnya.
Bhima menegaskan OJK harus memberikan efek jera kepada pinjol ilegal dengan memblokir rekening yang digunakan untuk mentransfer uang pinjaman kepada korban. Selain itu, harus ada penegakan hukum.
“Kemarin sudah dilakukan pemblokiran 2.000 fintech ilegal, namun pemblokiran saja tidak cukup karena nggak ada efek jeranya. makanya harus ada pemblokiran rekening fintech karena mereka kan melakukan transfer kepada korban. Kedua harus ada penegakan hukum, pelaku fintech ilegal yang melakukan pemerasan bunga yang tidak wajar, harus dituntut pidana. Saya kira ini sindikat, harus diberantas,” ujar Bhima.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan peran OJK belum maksimal. Dia mengatakan bukan hanya pinjol ilegal yang harus yang bermasalah, tetapi pinjol legal juga bermasalah. Dia menyinggung masalah bunga pinjol yang lebih tinggi daripada bunga bank dan masalah perlindungan data konsumen.
“OJK ini belum maksimal, nggak tahu sibuk apa gitu ya. Tapi kan dalam beberapa kasus memang mengaku sudah memblokir, ini bukan sekedar blokir, ini kan yang ilegal, ini juga tetap tumbuh, tetapi yang legal pun tetap bermasalah,” tegasnya.
“Selama ini kita bicara yang ilegal terus padahal yang legal juga masalah juga, misalnya bunganya lebih tinggi dari bunga bank. Data pengguna yang katanya dilindungi, ternyata kontak kita juga diambil,” tambah Heru.
Heru mengungkap bertambahnya korban pinjol bukan hanya kurangnya sosialisasi dari OJK, tetapi juga kurangnya literasi dan edukasi.
“Bukan hanya sosialisasi yang kurang tetapi, literasi edukasi juga kurang. Masyarakat itu harus dikasih tahu jika menggunakan layanan itu bunganya berapa, karena banyak juga yang tiba-tiba dikasih aja pinjaman. Bunganya berapa penghitungannya berapa, kemudian kalau telat seperti apa. Harusnya sistem perbankan kita juga mengatur gimana bisa orang pinjam di lebih dari satu pinjol,” jelasnya.
Sementara, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan pinjol ilegal merupakan penipuan berkedok lembaga keuangan dan itu bukan sepenuhnya tanggung jawab OJK saja.
“Karena ini bukan sektor keuangan ini persoalan kriminalitas, penipuan berkedok lembaga keuangan. Jika kasusnya dilakukan oleh pinjol yang berizin OJK, maka layak meminta pertanggungjawaban OJK, jika pinjol yang meresahkan yang tidak atau belum mendapatkan izin OJK,” katanya.
Dia menegaskan Kementerian Komunikasi dan Informatika juga harus dimintai pertanggungjawaban. Kominfo harus memberikan rambu-rambu agar sarana teknologi dan komunikasi tidak digunakan untuk penipuan.
“Ada otoritas lain yang harus kita mintai pertanggungjawaban, ini kan ranahnya digital, ini kita tidak bisa menyebut ini fintech, ini sarana penipuan, pemerasan dengan menggunakan sarana teknologi komunikasi, nah siapa yang mengatur internet, kan ini ada otoritasnya. Ini juga kita harus meminta pertanggungjawabannya kepada mereka yang mengatur internet di Indonesia, Kominfo,” jelasnya
Lebih lanjut, Piter Abdullah mengatakan Kominfo harus membuat aturan yang mengatur dan mengawasi pembuatan aplikasi atau web pinjol untuk menghindari kasus penipuan. Jadi, menurutnya harus ada izin dari Kominfo selanjutnya baru jalannya pinjol meminta izin OJK.
“Kominfo kita itu harus penertiban pemanfaatan sarana teknologi jangan sampai digunakan untuk penipuan. Yang memiliki domain internet (pinjol) harus memiliki izin, kominfo, untuk pemanfaatan internetnya, webnya harus ditertibkan oleh Kominfo, setelah itu (pinjol) bisa minta izin kepada OJK,” ungkapnya. (mul)
Berita Lainnya
Keluarga Ahli Waris Menangis Sebagai Muslim Terkait Pembongkaran Paksa Kuburan Ulama Oleh PT Jaya Real Property Dan Mantan Walikota Tangsel
Yatmi Adukan Airin Mantan Walikota Tangsel Dan Hengky Wijaya Ke MUI Terkait Pembongkaran Paksa Kuburan Ulama Keluarga Untuk Bangun Bintaro Xchange Mall
Keluarga Alm Alin Bin Embing Adukan PT Jaya Real Property Ke MUI Terkait Pembongkaran Paksa Tanah Kuburan Wakaf Ulama